Pendiri

Jejak-Jejak Kaki Sang Bapak Pelayan Anak Cacat Sebuah Praksis Karya Sosial

Dari Venlo, Jejak itu Dimulai
Venlo, kota kecil di Negeri Kincir Angin, Belanda usai pergantian tahun. Udara dingin menggigit. Bunga-bunga tidak sedang mekar. Sebuah tangis bayi laki-laki pecah pada tanggal 29 Januari 1922. Dinginnya cuaca di luar, nyatanya mampu meng¬hangatkan suasana sebuah keluarga yang tengah berbahagia. Pasangan yang tengah berbungah atas kehadiran putra ketiga mereka adalah Paulus Hubertus Janssen dan Maria Helena Filiott. Buah hati itu mereka namakan Paul H. Janssen yang kelak kemudian akrab dipanggil Rm Janssen.

Lahir dalam keluarga Katolik yang taat, Janssen kecil telah terbiasa mengawali aktivitas sehari-harinya dengan doa bersama saudaranya yang berjumlah tujuh prang. Kebiasaan yang diterapkan kedua orangtua dalam keluarga sangat mendukungnya untuk menjadi Kristiani yang taat meski dia mengaku menjadi Katolik karena bawaan sejak lahir. ‘Saya tidak pernah memilih menjadi Katolik, saya menjadi Katolik sebab saya, berkat rahmat Tuhan, lahir dari keluarga Katolik, bapak dan ibu Katolik.”

Pada umumnya anak-anak muda malas ke gereja, dan Rm Janssen pun pernah muda. Hanya saja orangtuanya membiasakan diri dengan rutinitas sederhana yang amat berarti buat perkembangan spiritualitasnya. Mengawali dan mengakhiri doa makan bersama menjadi rutinitas keluarga itu. Pada Bulan Maria dan Bulan Rosario, keluarga Janssen menyempatkan waktu berdoa Rosario setiap hari sebelum makan malam.

Tidak mengherankan bila kemudian hari dari ketujuh putra Janssen, dua di antaranya menjadi imam. Benarlah ungkapan bahwa biji yang baik yang disemai di tanah yang baik dan dipelihara dengan baik akan menghasilkan panen yang berkelimpahan. Kakaknya yang pertama adalah seorang imam yang juga pernah bertugas di Indonesia. Sang kakak sempat mengabdikan dirinya di Kepanjen sebagai Provinsial pertama CM di Indonesia dan akhirnya meninggal sebagai pastor di Paroki Blitar.

Panggilan menjadi seorang biarawan bagi Rm Janssen rupanya tidak merupakan cita-cita yang pertama. Semula Rm Janssen tidak berniat untuk menjadi pastor. Cita-cita sebenarnya adalah menjadi seorang misionaris. “Tetapi saat itu, untuk menjadi seorang misionaris harus menjadi pastor,” katanya. Menjadi misionaris pada saat itu berarti mau meninggalkan situasi di Belanda dan mengabdikan diri di negara yang masih menderita.

Janssen muda akhirnya menjatuhkan pilihannya pada sebuah kongregasi mini, Lazaris (CM), yang khusus bekerja untuk orang miskin. Rm Janssen mengetahui kongregasi ini dari seorang pamannya yang sudah terlebih dulu masuk CM dan bekerja untuk anak miskin. Paman dan kakaknya sering bercerita tentang Tiongkok, Afrika, Amerika Latin, negara terbelakang yang bergumul dengan kemiskinan. Cerita sang paman mempengaruhi hidupnya…. Darah misionarisnya menggelegak. Untuk menjadi misionaris, otomatis orang harus menjadi imam. Dari mereka pulalah Paul remaja sungguh mengenal sosok Vincentius a Paulo pelindung bagi kongregasi CM yang kemudian diikutinya. Kutipan cerita tentang pelindung tarekat yang menginspirasi Henry adalah sebagai berikut :
Santo Vinsensius a Paulo

a. Santo Vinsensius dan Karyanya
Vinsensius dilahirkan di Kota Pouy, di Perancis, pada tanggal 24 April 1581. la merupakan putra ketiga dari lima bersaudara anak-anak Jean de Paul dan Betrande de Moras. Semasa hidupnya situasi Perancis ditandai dengan ekonomi yang buruk. Keadaan kesehatan memprihatinkan, karena rendahnya mutu makanan, penyakit, umur pendek dan sebagainya. Status ekonomi yang rendah terutama menimpa kaum petani yang kebanyakan tidak mempunyai tanah karena hampir seluruh tanah dikuasai oleh tuan-tuan tanah, seiring dengan dikenakannya pajak yang tinggi dan seringnya terjadi bencana alam.

Demikian juga, perkembangan kepribadian rakyat terhambat, disebabkan oleh kurang pendidikan, kepercayaan magis, ketidak-tahuan akan pokok-pokok ajaran iman, tumbuhnya gejala pauperisasi akibat perang, bencana alam, kelaparan, stagnasi teknologi dan sebagainya. Juga adanya kelemahan intern Gereja yang disebabkan karena kualitas pembinaan klerus yang rendah, mental simoni, intervensi penguasa politik, perselisihan dengan pihak Protestan dan sebagainya. Di dalam situasi yang demikian itulah Vinsensius hidup dan berkarya. Sebagai anak desa yang sederhana yang kemudian menjadi imam, ia berkarya di tengah-tengah kaum miskin yang de facto membutuhkan pelayanan dalam bidang material dan spiritual.

Karya-karya Vinsensius itu merupakan tonggak sejarah yang menandai era baru Gereja dalam pelayanannya kepada kaum miskin. Sampai akhir hayatnya (Vinsensius wafat pada tanggal 27 September 1660), ia sempat mendirikan duo kongregasi. Yang pertama adalah Kongregasi Misi (Congregasi Missionis), yang kemudian disingkat CM. Pada waktu itu imam-imamnya popular dengan imam-imam Lazaris. Yang lain adalah Kongregasi Putri Kasih (PK). Kedua kongregasi itu memang sengaja didirikan untuk melanjutkan karya-karyanya dalam melayani kaum miskin di seluruh dunia. Imam-imam CM menitikberatkan pada pelayanan rohani, sedangkan Putri Kasih lebih sibuk dengan pelayanan kebutuhan jasmani kaum miskin. Karena pada hakikatnya kaum miskin memang menderita kekurangan dalam dua hal itu.

Sekarang ini Imam-imam CM dan Suster-suster PK sudah tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia imam-imam CM sebagian besar berkarya di Keuskupan Surabaya, sedang beberapa imam melayani juga di luar Keuskupan Surabaya, yaitu di Keuskupan Sintang (Kalimantan Barat), Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Jakarta (di Paroki Cilincing) dan Keuskupan Bandung (membina para calon imam Praja Keuskupan Sintang).
Sedangkan pendidikan imam CM terdapat di Seminari Tinggi CM, Malang.

b. Tentang Pelayanan kepada Kaum Miskin
Tentang diri Santo Vinsentius dan karya-karyanya secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut ini:
Ia adalah seorang yang memiliki iman yang operasional melalui cinta kasih (bdk. Gal 5:6). Ia dilahirkan dan hidup dalam suatu abad di mana keadaan Gereja, khususnya di Perancis, sedang kacau dan menghadapi tantangan yang berat dari aliran – aliran pandangan hidup yang menyerang iman kristiani. Lebih-lebih situasi materiil yang bisa menggoncangkan hidup rohani kaum beriman.

Vinsensius mencintai kaum miskin dan sikap ini menjadi sikap yang paling dicintainya dan menonjol dalam semua karya dan usaha pengabdiannya. Di samping itu iman dan cinta kasih yang mendalam kepada Tuhan mendorongnya untuk menghasilkan suatu pernyataan dalam kata-kata: “Evangelizare Pauperibus Misit Mei” (la mengutus aku untuk mewartakan Injil kepada kaum miskin, Luk 4:18). Pernyataan ini adalah satu-satunya yang diinginkan Vinsensius dalam hidupnya, dan ungkapan ini merupakan titik tolak dari karya kerasulannya serta penjelasan dari semua saja yang ia jalankan di dalam pengabdiannya kepada Kristus. Rendah hati merupakan keutamaan yang selalu ada dan bisa dilihat dalam diri Vinsensius. Ia mempunyal sikap pasrah kepada penyelenggaraan ilahi. Bagi Vinsensius: rendah hati itu terletak pada sikap yang mencintai pada yang hina, yang tidak disenangi oleh orang lain, direndahkan dan sebagainya.

Vinsensius adalah orang yang penuh semangat dan kepercayaan serta tidak mau mendahului penyelenggaraan ilahi. Berkat rahmat Tuhan inilah maka masa hatinya banyak terarah pada sesamanya yang miskin dan menderita.

Vinsensius adalah manusia operasional, dalam karya-karyanya melayani kaum miskin, ia tidak hanya mementingkan segi afektif (perasaan) saja, tetapi juga efektifnya. Oleh karena itu segi-segi organisatoris sangat diperhatikan. Berbagai cara diusahakan dalam melayani kaum miskin, karena bagi Vinsensius, kaum miskin adalah raja dan penguasanya.

Para frater dan imam CM, sebagat pengikut Vinsensius, harus terus-menerus mengembangkan cara-cara pelayanannya terhadap kaum miskin. Sebagaimana jejak pendirinya, yang tidak hanya mengusahakan keselamatan jiwa saja, tetapi keselamatan manusia seutuhnya. Para Frater CM setiap tahun mengadakan apa yang disebut sebagai Misi Rakyat atau Misi Umat, yaitu pelayanan khusus pada waktu-waktu tertentu di daerah pedesaan.

Dalam Musyawarah General Kongregasi Misi yang ke-37 dikatakan: “Para seminaris dan mahasiswa kita harus berkontak langsung dengan kaum miskin dan karenanya mereka mengenal situasi hidup kaum miskin, mengadakan refieksi.tentang sebab-sebab kemiskinan, dan membiarkan diri dibina secara injili oleh kaum miskin”

Sumber: GM Indonesia – http://communities.msn.com

Menjadi misionaris tentu saja membawa konsekuensi tersendiri. Dia adalah orang yang mau diutus ke mana pun ke sebuah tempat yang membutuhkan. Seorang misionaris juga harus bersedia menetap di sebuah wilayah yang bukan tempat tinggalnya dan menyesuaikan dengan kebudayaan di daerah itu. Yang terpenting, misionaris mesti bersedia berhadapan dengan tempat di mana ada kebutuhan khusus, kemiskinan dan keterbelakangan jasmani atau rohani.

Bagi Rm Janssen, hal itu tidak menjadi persoalan bila seseorang dididik dalam nuansa Kristiani.

Dari latar belakang seperti itulah kurang lebih, pada saatnya Rm Janssen memantapkan diri mengikuti jejak Paman dan kakaknya untuk dikirim ke negeri yang jauh, mengabdikan diri bagi kaum papa. Begitulah benih-benih cinta yang didapat Paul di masa kecilnya yang telah menyirami dan menyiangi semangatnya untuk menjadi misionaris.

Betapa keluarga menjadi lahan awal yang subur menampung bibit yang disemai dan dipelihara dengan kasih sayang telah menghasilkan karya yang sungguh luar biasa bagi usaha untuk memanusiakan manusia. Adalah tantangan bagi keluarga-keluarga masa kini untuk menjadikan keluarga sebagai lahan pendidikan dan menyemai benih nilai-nilai luhur bagi seorang anak kecil.

Tiongkok, Pertama Kali Berjumpa dengan Kemiskinan

Konsili Vatikan 11 merumuskan panggilan kristiani datang dari Allah dan merupakan rahmat Allah. Dalam faktanya ini hanya terjadi di dalam Gereja dan tidak pernah diberikan di luar dan terlepas dari Gereja. Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium mengingatkan kita, ‘Allah bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungannya satu dengan yang lain. Tetapi la hendak membentuk mereka menjadi umat yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-NYA dengan Suci ……

Panggilan bagi Paus Yohanes Paulus 11 dalam Bukunya “Menjadi Manusia Baru dalam Kristus” (Yubileum Agung tahun 2000) memberikan gambaran panggilan sebagai “semakin dalam kita mengenal Kristus, semakin dalam kita dapat mengenal diri kita sendiri, dan kita mendengar suara Kristus yang memanggil kita untuk pengutusan khusus yang dikhususkan bagi masing-masing di antara kita (hlm. 56). Untuk dapat menemukan kehendak nyata Tuhan di dalam hidup, kita perlu selalu memperhatikan hal-hal berikut: mendengar dengan sikap menerima sabda Allah dan Gereja dan teratur dan bersemangat, minta tolong pembimbing yang bijaksana dan penuh cinta, penegasan setia atas anugerah-anugerah dan bakat-bakat yang diberikan Allah maupun situasi historis dan sosial yang berbeda-beda di mana orang hidup.

Rm Janssen rupanya memiliki rumusan tersendiri:
“Tuhan yang memanggil, bukan kita. Tuhanlah yang tanpa kita tahu menabur benih di dalam diri kita. Yang dalam situasi baik mulai berkembang tanpa kita tahu sendiri. Benar Yesus mengatakan, ‘Si petani ini bangun dan tidur, tapi benihnya berkembang’. Coba lihat pohon yang besar ini. Saya membawa benihnya pada waktu saya ke pantai. Dan saya masukkan di sini di tanah. Kok lambat laun dia makin lama makin berkembang.
Nah, itulah panggilan! Tuhan memanggil dengan.caranya sendiri. Tuhan tidak panggil, ‘Eh, kamu datang!’ Tidak. Tuhan memanggil dalam hatinya. Seorang melihat dan dia mulai peduli dengan segala kekurangannya. Jangan dianggap orang yang dipanggil ini mesti orang yang suci. Tidak. Jauh dari orang suci.”

Setiap manusia dipanggil untuk memenuhi dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ini menjadi sebuah renungan bagaimana panggilan harus ditanggapi. Menunggu dengan sabar atau keluar secara aktif menemukan panggilan kita masing-masing dan menerima panggilan itu dengan penuh rasa syukur lalu menjalankannya atau tidak sama sekali.

Rm Janssen akhirnya memilih untuk memenuhi panggilan itu. Dia masuk seminari dan berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ditahbiskan menjadi pastor. Saat yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Darah misionarisnya terus menggelegak. Menjelang tahbisan imam, Rm Janssen minta diutus ke Tiongkok.

Tugas pengutusan berada di pundak Rm Janssen yang saat itu tengah berusia 25 tahun. Tanggal 13 Juli 1947, ketika usianya persis seperempat abad, ia ditahbiskan menjadi imam dari Kongregasi Misi (CM). Napas spiritualitas yang dia gunakan dalam memenuhi panggilan-Nya: “Kamu adalah alat pilihan untuk-Ku, untuk membawa nama-Ku ke bangsa-bangsa. Dan aku akan menunjukkan kepadamu betapa banyak engkau akan bersusah payah demi nama-Ku.” Tiongkok, negara besar di Timur Jauh (sebutan Tiongkok saat itu), menyimpan daya tarik tersendiri bagi para misionaris. Negara eksotis dengan penduduk yang banyak nan majemuk menjadi kawah candradimuka pertarungan pengaruh politik. Dimulai tahun 1946-1947, pergerakan tentara komunis dari arah utara Tiongkok menyisakan banyak cerita menyedihkan tentang penderitaan orang Katolik di sana. Misionaris-misionaris semakin dibutuhkan seiring dengan banyaknya orang yang mati sebagai martir, termasuk teman-teman Janssen sendiri. Hati seorang misionaris dalam diri Janssen muda memanggilnya ke sana.

Permintaannya melakukan perjalanan misionaris ke Tiongkok dikabulkan. Tepat sebulan setelah ditahbiskan, Rm Janssen berlayar ke Tiongkok, dengan tujuan ke Beijing. Dengan kapal dagang yang singgah di banyak kota, perjalanan yang selama dua bulan dan penuh petualangan berakhir di kota Shanghai. Alih-alih sampai ke Beijing, dalam perjalanan ke Shanghai menuju Beijing, Rm Jansen harus beralih ke pedalaman, yaitu suatu kota kecil bernama Nan Chang yang terletak di tengah-tengah China. Nan Chang berjarak kira-kira 800 km dari Shanghai. Perjalanan ke Nan Chang yang berlangsung lima hari itu ditempuh dengan kapal kecil separuhnya dengan kereta api. Nan Chang menjadi tempat berkarya sementara demi keselamatan jiwa-jiwa. Karena daerah di utara Shanghai sudah dikuasai tentara komunis. Rm Janssen langsung turut membantu karya CM di sana dan mulai belajar bahasa Cina dengan logat daerah setempat. Baru setengah tahun berkarya di Nan Chang, tentara komunis dari utara bergerak menguasai wilayah sekitarnya, sehingga para pastor CM ditarik ke Kashin sebelah selatan kota Shanghai.

Di Kashin inilah Rm Jansen untuk pertama kalinya bersentuhan dengan kemiskinan secara nyata. Kesederhanan hidup keluarga miskin di Belanda tidak sebanding dengan kemiskinan yang dilihatnya. Anak-anak di Belanda tidak banyak yang diterlantarkan seperti anak-anak di tempat itu. Banyak sekali anak, jumlahnya ratusan, yang waktu itu terlantar di Kashin. Kadang-kadang dikumpulkan lebih dari 10 dalam satu minggu. Mungkin itulah, tanpa disadari, keterlibatan inilah yang menjadi permulaan satu panggilan bagi Rm Janssen untuk melayani anak-anak yang berkebutuhan paling dasar dan hak asasinya tidak dipenuhi. Anak – ¬anak di Tiongkok sering dibuang begitu saja di sungai atau tempat umum. Saat itu orang-orang belum mengerti tentang cara-cara abortus. Anak-anak (khususnya yang perempuan) dibuang sebagian karena kemiskinan yang ekstrem, dan sebagian lagi karena orang-orang di Tiongkok tidak menyukai anak-anak perempuan. Anak perempuan dianggap memberati hidup orangtua yang sudah miskin papa. Rm Janssen berkenalan dengan kemiskinan yang parah, yang tidak tersentuh, yang membuat orang menjadi tidak manusiawi terhadap anak-anak mereka sendiri.

Tugas Rm Janssen adalah mendidik calon-calon imam di seminari di Kashim, sebelah utara Hanchow. Kemiskinan yang menganga di depan matanya memanggil-manggil hatinya untuk melakukan sesuatu. Sesuatu mesti dilakukan. Petualangan iman dalam wujud tindakan nyata bagi orang-orang miskin telah dimulai. Rm Janssen memutuskan bahwa tugas sosial harus dimulai.

Tugas sosial kelihatannya begitu sulit. Seolah-olah orang-orang tidak butuh ditolong. Peraturan yang diterapkan pemerintah melarang setiap orang yang di luar instansi yang berwenang untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang miskin dan menderita yang merupakan sebagian besar penduduk Tiongkok. Jika melihat ada orang yang akan mati di tepi jalan karena kelaparan atau karena sakit, kita tidak boleh menolong, karena sudah ada instansi yang berwenang untuk itu. Orang yang menolong orang sakit yang kedinginan dan hampir mati di tengah salju akan ditindak, karena hal itu dilarang.

Inilah yang memengaruhi kerja para pastor. Mereka harus pandai-pandai melihat situasi. Hati Rm Janssen kadang-kadang sangat sedih saat keadaan tidak memungkinkannya berbuat sesuatu; seakan-akan harus melihat orang mati pelan-pelan tanpa sentuhan tangan orang lain.

Belum genap 2 tahun Rm Janssen berada di Tiongkok, tentara komunis telah merebut Daratan Cina seluruhnya. Negara yang sangat luas itu tidak menyisakan tempat sejengkal pun untuk orang-orang asing. Pastor-pastor diusir, karena dianggap mata-mata Amerika. Rm Janssen dan pastor lain beserta 16 orang frater dari Tiongkok diutus ke Filipina. Para misionaris harus mengurus pendidikan imamat untuk para frater Cina di Filipina, tetapi berniat untuk masuk lagi ke Tiongkok secara diam-diam saat keadaan memungkinkan. Harapan mereka, jika kesulitan sudah terlewati, mereka dapat sedikit demi sedikit berkarya lagi di Tiongkok. Memang, hati misionaris sulit untuk meninggalkan begitu saja tanah yang sangat mereka cintai, tanah yang menjadi cinta pertama mereka pada kemiskinan.

Belajar di Filipino
Tahun 1948 para pastor dan frater dari Tiongkok itu diterima dengan baik di Filipina oleh pastor-pastor CM yang kebanyakan berasal dari Spanyol. Akhirnya, pengungsi CM “datang” ke CM juga. Pastor-pastor di Filipina itu menerima ke-16 frater Tiongkok tersebut. Kata mereka pada para pastor pelarian, “Sekarang bukan kamu yang mengurus mereka, tetapi kami. Mereka akan masuk dalam seminari kami.” Lalu, para pastor CM (Rm Janssen dan seorang temannya dari Hongaria) diberi kesempatan untuk studi akademis pascasarjana. Dalam penantian untuk kembali ke Tiongkok, Rm Janssen menerima tawaran itu. Rm Janssen diterima di UnIversitas St. Thomas, cabang dari Universitas Angelicum Roma di Manila.

Dengan latar belakang teologi yang cukup kuat, dalam dua tahun Rm Janssen menyelesaikan gelar doktor di bidang teologi. Hanya diperlukan waktu satu tahun untuk mencapai licenciat, dan satu tahun untuk membuat tesis dan mencapai gelar doktor di bidang itu.

Rm Janssen Saat di Cina
Rm Janssen Saat di Cina

Rm Janssen tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada. Bersamaan dengan itu, Rm Janssen masuk ke Universitas St. Thomas untuk awam di bidang psikologi sosial dan social science, 2 bidang ilmu yang menarik baginya. Rm Janssen tertarik mengenai tingkah laku, behavior; juga karena profesor yang mengajar di bidang itu dianggapnya merupakan profesor yang baik dan ternama. Masa itu adalah masa permulaan hidupnya “Guidance and Counseling”, ilmu yang sangat dibutuhkan. Dan untuk mendalaminya, Rm Jansen mengerjakan tesis dengan penelitian tentang sebab-sebab terjadinya masyarakat dalam kehidupan komunitas, Natural Causes of Society in Community Life, dan mendapatkan nilai magna cum laude. Tiap sore masuk kuliah selama hampir 3 tahun, akhirnya Rm Janssen mencapai gelar Master of Art (MA). Materi yang dikuasainya termasuk psikologi sosial dan social science. Tiga tahun masa penantiannya ke Tiongkok diisi dengan belajar di Filipina.

Indonesia, Pelabuhan Terakhir Karya Sang Maestro
Sesudah menunggu 3 tahun di Filipina, menjadi jelas bahwa mereka adalah pengungsi yang tidak bisa kembali ke Tiongkok. Keadaan di Tiongkok tidak memungkinkan mereka untuk masuk lagi. Kepada para pastor CM itu ditawarkan untuk ikut para pastor Spanyol, berkarya di Filipina. Sebenarnya orang-orang Spanyol tidak disukai di Filipina karena mereka dianggap identik dengan penjajah dahulu. Rm Janssen dan kawan Hongarianya tidak tertarik. Mereka malah tertarik ke Chili dengan harapan dapat “membuka jalan” di negara yang dianggap miskin itu. Memang pesona kemiskinan menjadi daya tarik bagi para misionaris itu. Tempat-tempat miskin yang belum ‘dicapai’ seakan-akan memanggil dan menantang mereka ke sana.

Tetapi pimpinan di Belanda memutuskan lain, “Tidak boleh, kamu harus ke Indonesia”. Rm Janssen merasa kecewa. Untuk menenteramkan hatinya, dia menyanggupi tinggal di Indonesia dengan terus berharap bisa kembali ke Tiongkok. Tempat ini rupanya telah memikat hati Rm Janssen.

Ketaktertarikan kepada Indonesia tidak secara eksplisit dia ungkapkan. Hanya saja pada waktu itu di antara para misionaris ada anggapan bahwa jika mereka ke Indonesia, itu adalah untuk melayani orang Belanda yang bekerja pada pemerintah yang sedang rnenjajah Indonesia. Ada banyak orang Katolik Belanda dan orang Cina berkebangsaan Belanda yang bekerja untuk pemerintah Belanda. Mereka mempunyai hak untuk mengembangkan imannya, dan untuk itu dibutuhkan misionaris. Sementara itu, orang-orang pribumi di Indonesia kurang tersentuh. Janssen tidak menyukai kenyataan ini karena orang-orang yang ingin dia sentuh adalah orang-orang miskin, orang-orang menderita, orang-orang yang terjajah.

Kakaknya yang seorang pastor memilih berkarya di Indonesia. Rm Jansen yang selama itu selalu bersama sang kakak kali ini memilih untuk tidak ikut. Dia menyatakan keberatannya kepada pimpinan untuk melayani orang-orang Belanda dan Cina yang mapan di pusat-pusat pemerintahan. Jikalau dia harus berada di Indonesia, dia meminta untuk ditempatkan di tempat terpencil di desa-desa. Oleh pimpinan, permintaannya ini malah dikabulkan, karena memang misionaris sangat diperlukan di tempat termiskin dan paling terpencil.

Saat itu peta politik Indonesia telah berubah. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia mengukir sejarahnya dengan merebut kemerdekaan setelah dijajah Belanda selama tiga setengah abad. Pandangan misionaris pun berubah pascakemerdekaan terhadap pemerintahan Belanda. Orang-orang Belanda yang baru mau masuk Indonesia tidak diperbolehkan karena terkait dengan masalah politik Irian Barat. Orang-orang Belanda yang ada di Indonesia sudah mulai pulang ke negerinya. Dengan demikian misionaris menganggap mereka yang datang ke Indonesia betul-betul melayani orang Indonesia, bukan melayani orang Belanda. Yang tertinggal adalah orang-orang Indonesia yang baru lepas dari penjajahan, seperti tunas baru yang mulai tumbuh. Kemiskinan menyapa di berbagai tempat. Di Indonesia inilah jejak langkahnya berlanjut untuk berpihak pada kaum lemah.

Memugar kembali Gereja di Puh Sarang
Indonesia menjadi lembar sejarah hidup baru bagi kehidupan Rm Janssen. Musim hujan baru saja berganti dengan musim kemarau. Kehidupan yang masih sangat asing buat dia membentang di depan mata. Pada 1 Mei 1951 pastor misionaris itu menjejakkan kaki pertama kalinya di Indonesia, negara yang masih bau kencur. Pulau Jawa menjadi persinggahan karya misinya hingga kemudian menjadi pelabuhan terakhir kekaryaannya sampai sekarang.

Setelah mendarat di kota Surabaya, tepatnya 5 Mei 1951 Rm Janssen tiba di Puh Sarang, Kediri dan memulai “pekerjaan” di sana. Dia menjadi pastor paroki di Puh Sarang. Dari kegiatan rohani di Kediri, Rm Janssen mendirikan Legio Maria yang pertama di Indonesia. Meski bertugas di Paroki Kediri, tugasnya merambah hingga Gayam, Gringging, Kalinanas, Kalibogo, sampai Nganjuk.

Lokasi ini merupakan tempat yang terlalu jauh untuk romo yang lebih tua. Rm Janssen muda dan bersemangat diberi tugas yang memerlukan kemampuan fisik yang cukup prima. Gayam jaraknya 15 km dari Kediri. Geringging berjarak 18 km dari Kediri ke arah Nganjuk. Sedangkang Kalinanas berjarak 50 km dari Kediri. Yang paling dekat adalah Puh Sarang, berjarak ± 10 km dari Kediri. Untuk pergi ke tempat itu, mula-mula Rm Janssen berjalan kaki. Namun dengan sepeda motor sederhana yang kemudian dimiliki¬nya, beban fisiknya mulai berkurang.

Sepeda motor yang maksimal hanya bisa berjalan dengan kecepatan 20 km/jam itu menjadi kebanggaannya. Motor itu kemudian menjadi teman setia Janssen muda, meskipun kondisi geografis saat itu tidak memungkinkannya untuk terus ditemani motor. Ini terjadi di wilayah Kalinanas. Untuk mencapai ke tempat ini Rm Janssen harus berjalan kaki. Situasi berbeda terjadi di Gringging yang memungkinkan Rm Janssen bisa naik motor. Sementara untuk wilayah Gayam kondisinya lain lagi. Meski bisa dinaiki motor, namun ketika hujan membasahi bumi, Rm Janssen harus berjalan kaki karena jalanan yang penuh lumpur. Keterbatasan dan keterpencilan itu nyatanya justru membawa kenikmatan tersendiri. Inilah saat yang diidamkannya sejak dulu. Saat di mana dia ingin bergumul dengan segala keterbatasan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Detik berganti menit yang memesona. Menit berganti jam yang penuh makna.

Sebagai Romo Paroki, nyatanya dia juga berperan dalam menyelamatkan Gereja. Gereja itu bernama Puh Sarang yang kini menjadi tempat ziarah terbesar di Jawa Timur. Gereja Puh Sarang terletak di Kecamatan Semen, Gunung Klotok, di lereng gunung Wilis. Kompleks gereja yang unik dan indah didirikan tahun 1936, merupakan perpaduan karya Ir Henricus Maclaine Pont, Pastor H Wolters CM, dan penduduk setempat. Rm Janssen ikut berperan di dalam pembangunan gereja bersejarah ini.

Sebuah Master Plan telah dibentangkan dan terpilihlah desa Puh Sarang sebagai pos misi. Agenda besar “Indonesianisasi” mulai dipancang di Jawa Timur. Saat itu gereja Puh Sarang sudah mau ambruk. Uskup berkeinginan membangun gereja biasa saja untuk melakukan ritual misa. Tetapi rupanya keinginannya sama sekali berbeda dengan kemauan sang Uskup. Romo Janssen menginginkan gereja ini tak hanya menjadi gereja ala kadarnya.

Dia menghubungi seorang insinyur di Belanda bernama Maclaine Pont yang sungguh mempunyai perhatian terhadap arsitektur lokal. Maclaine Pont seorang arkeolog dan arsitek Belanda kelahiran Indonesia yang amat mencintai Indonesia. Pont menetap di Indonesia. Sang insinyur ahli mengenai kebudayaan Mojopahit dan membangun Candi Trowulan yang sekarang ambruk karena tidak direnovasi lagi pada waktunya. Pont lalu mengembangkan bangunan gereja ini dengan model dan sentuhan budaya Mojopahit. Gereja Puh Sarang lalu dibangun dengan bahan-bahan yang tak biasa.

Gereja Puh Sarang dibangun dengan bahan-bahan dan batu lokal. Kayu yang digunakan adalah kayu pohon kelapa yang dijajalkan dan gentengnya diganti satu per satu lalu direkatkan dengan memakai kawat tembaga yang lebih kuat dan tahan lama.

Untuk pembuatan arcanya, orang desa sekitar telah terlatih dengan menggunakan batu sawo kecik yang memang cocok untuk membuat arca. Belakangan patung arca dari batu sawo kecik asal Puh Sarang bergambar Yesus dan Bunda Maria itu diperdagangkan. Tentu saja Puh Sarang kini telah berganti wajah. Khususnya sejak Uskup Surabaya Mgr. (Alm.) Hadiwikarto membangun tempat ziarah baru yang tujuannya menjadi tempat perziarahan umat Katolik kawasan Jawa Timur.

Sejak di Puh Sarang itu pula, Rm Janssen berjumpa dengan anak-anak cacat. Tetapi sebenarnya persentuhannya dengan anak cacat tidak hanya berhenti di Puh Sarang. Dalam pergumulannya dengan anak cacat, Rm Janssen menjangkau hingga Paroki Gayam, Gringging, Kalinanas, Warujayeng, Kalibago, di Kediri sampai Nganjuk. Dalam perjalanannya dia menemukan pandangan baru. “Begitu banyak orang miskin dan cacat, tetapi seolah-olah komunitas kita tidak peduli. Seolah-olah kurang ada “Community Involvement”, ujarnya mengenang kondisi masa itu. Kurangnya kepedulian komunitas ini menurut dia suatu masalah. Sejak itu Rm Janssen mulai berusaha untuk mengembangkan komunitas yakni komunitas yang peduli mengenai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan la mencari siapa yang mau mem¬bantunya untuk hidup dalam kebersamaan dengan anak dan orang miskin.

Mencari orang awam sebagai Mitra untuk Berkarya
Takdir Rm Janssen memang tidak terlepas dari kemiskinan dan penderitaan. Pengalaman ‘cinta pertamanya’ pada kemiskinan yang dialami di Tiongkok terulang di desa-desa di Kediri dan sekitarnya. Dia memulai karya imannya sebagai romo paroki. Hawa kemiskinan di Indonesia sebagai negara yang baru saja lepas dari penjajahan merebak di mana-mana. Pengalaman pertamanya dengan anak cacat terjadi di Puh Sarang. Dia melihat ada begitu banyak orang yang cacat berat, luka parah, dan sakit keras. Mereka tidak berdaya bergumul dengan penyakit-penyakit yang seakan-akan memenangkan pertempuran tanpa perlawanan pengobatan sedikit pun. Ini disebabkan tidak adanya pusat kesehatan dan obat-obatan di sana. Keadaan yang sungguh-sungguh miskin membuat orang¬orang itu tidak punya alternatif untuk menolong dirinya sendiri.

Yang membuat Rm Janssen heran adalah bahwa orang-orang awam, imam-imam, masyarakat (community) tidak terlibat sama sekali untuk menolong orang-orang miskin yang tidak mampu menolong dirinya sendiri itu. Banyak orang hidup di tengah-tengah penderitaan orang lain, tetapi seolah – seolah tidak melihatnya. Ada dua dunia yang berlainan dengan titik persimpangan yang tajam. Dua dunia ini adalah mereka “yang berada” yang berkecukupan di satu kutub, dan dunia orang-orang yang “tidak berada” di kutub lain, yaitu orang-orang yang terlantar, cacat, menderita, yang praktis sepertinya dianggap tidak ada dalam kenyataan hidup sesamanya.

Ada begitu banyak orang miskin, sakit dan cacat, tetapi seolah-olah komunitas itu tidak peduli. “Kurang ada community involvement,” katanya dengan nada prihatin. Ini menjadi suatu masalah dan memprihatinkan Rm Janssen. Keprihatinan inilah yang kelak kemudian melahirkan sistem CBR (Community Based Rehabilitation) yang dikembangkan di Yayasan Bhakti Luhur. Rm Janssen memilih untuk peduli. Pelan tapi pasti, kasih dan rasa keberpihakannya pada orang lemah menuntun dirinya untuk melakukan tindakan. Untungnya, sebelum ke Indonesia, Rm Janssen pernah belajar sebagai perawat kesehatan, sehingga sudah mempunyai dasar tentang macam-macam penyakit daerah tropis dan perawatannya. Buku pegangan dibawanya. Dengan dasar itu, Rm Janssen mencoba membantu siapa saja yang datang dengan penyakit berat, miskin, dan tidak tertolong. Mereka terlantar dan membutuhkan orang yang mau membantu. Banyak di antaranya menderita TBC, malaria dan frambosia.

Dari orang yang dibantu, Rm Janssen mendengar bahwa ada orang sakit yang tidak bisa datang. Orang itu meminta, bolehkah Rm Janssen yang mendatangi mereka. Dari peristiwa ini, Rm Janssen mulai belajar, bahwa orang yang miskin memerlukan orang yang mencari mereka, mengunjungi mereka di tempat tinggalnya dan tidak menunggu sampai mereka datang ke rumah sakit yang jauh dari rumah mereka. Maka, dialah yang harus mulai mencari mereka. Bila ingin betul-betul membantu, harus mendekat. Menurut Rm Janssen bila seseorang ingin mengetahui orang miskin, maka dia harus masuk dalam dan tinggal dalam rumah orang miskin.

Dia memberikan perumpamaan tentang seseorang yang terkena musibah banjir. Kalau ingin mengetahui bagaimana rasanya kebanjiran, menurut Rm Janssen orang harus masuk ke dalam rumah yang kebanjiran, dan tinggal di dalamnya. “Jangan hanya membagi sembako. Kalau kita berbuat itu, kita mulai berubah. Kita mulai peduli, aware,” ujarnya. Hal yang sangat diharapkan oleh Rm Janssen dari orang-orang ketika pertama kali menghadapi situasi yang dilihatnya adalah kepedulian, awareness, bahwa mereka adalah saudara yang tidak dikenal, tidak dicintai. Inilah yang pertama perlu ada. Dari rasa peduli inilah timbul kesadaran untuk tinggal bersama dengan mereka. Kebersamaan ini merupakan suatu perasaan yang amat mendalam. Dalam ilmu kejiwaan Rm Janssen menyebut ini sebuah ‘belonging’. Mereka menjadi bagian dari dalam diri dan kita menjadi bagian dari mereka yang mewujud menjadi persaudaraan kasih.

Untuk mewujudkan niatnya itu pula, Rm Janssen sadar tidak mungkin bekerja sendirian. Dia memerluan mitra untuk berkarya. Pada waktu itu sulit sekali mendapatkannya. Suster-suster ada, tetapi mereka harus bersekolah. Lagi pula jumlahnya tidak banyak. Akhirnya, Rm Janssen bertemu dengan seorang dokter Jerman, dr Thiele, yang berjanji mem-back-up usaha Rm Janssen dengan keahliannya sebagai dokter. Dalam perjalanannya mencari partner berikut, Rm Janssen bertemu dengan seorang pharmacist di Surabaya dari RSUD Dr Soetomo yang memperkenalkan saudarinya, Ibu Parijs. Ibu Parijs ini adalah seorang ibu guru Belanda yang memilih tetap tinggal di Indonesia, untuk seumur hidupnya di tengah orang Indonesia. Dengan bantuan orang-orang ini, Rm Janssen berkeliling mencari orang-orang yang butuh bantuan.

Kecintaan pada ketidakberdayaan sesama dan hasrat untuk membantu sebisa mungkin mampu mendorong mereka melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan. Naik-turun Gunung Wilis sambil mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk mencari orang-orang sakit dan cacat yang tidak tertolong menjadi pekerjaan mereka. Medan yang berat menjadi tantangan yang harus mereka tempuh. Kemerdekaan yang baru dicecap oleh bangsa Indonesia tidak memungkinkan orang untuk menggunakan sarana transportasi yang memadai. Dari Puh Sarang ke Gunung Wilis, orang harus berjalan kaki. Dimulai dari Puh Sarang, mereka harus menyeberangi sungai yang mempunyai air setinggi lutut, ± 30 cm pada musim kemarau. Untuk menyeberangi sungai, pada musim kemarau terdapat jembatan sederhana dibuat dari bambu.

Hanya saja saat musim hujan, sungai tidak bisa dilewati karena menjadi lebar 1-2 jam sesudah turun hujan. Untuk kembali ke situasi normal, mereka harus menunggu keesokan harinya. Setelah menyeberangi sungai, mereka kemudian berjalan kaki ke lereng gunung. Di lereng gunung, sudah ada rumah penduduk berupa dukuh kecil, ± 20 KK (kepala keluarga) dalam satu desa. Makin ke atas gunung, jarak antar rumah makin jauh. Ada dua jalan untuk naik ke atas gunung, yaitu jalan barat dan timur. Jika memilih jalan timur, bisa naik tinggi sekali sampai ke puncak. Di sana terdapat satu desa yang paling tinggi letaknya bernama Bekasi. Di antara Puh Sarang dan Bekasi banyak dukuh yang kecil-kecil dengan rumah-rumah yang sangat sederhana, tempat Rm Janssen berkunjung.

Menjadi misionaris di tempat yang penduduknya mayoritas muslim nyatanya membawa pengalaman yang indah. Dia mengaku tidak pernah mengalami penolakan dari penduduk. “Saya orang Londo, tapi begitu diterima. Saya belum pernah merasa ditolak oleh mereka,” kata Rm Janssen. Pernah suatu malam hujan turun deras. Ketika itu tahun 1952, setahun berselang sesudah dia datang ke Indonesia. Sepeda motor yang menjadi teman setianya rusak. Rm Janssen mengetuk pintu penduduk yang tidak dia kenal dan meminta bantuan untuk memperbaiki motornya yang rusak. penduduk itu dengan ringan tangan langsung ikut memperbaiki, sernentara Rm Janssen dipersilakan untuk minum kopi tubruk di rumah mereka. Bagi Rm Janssen, semakin mencari umat yang sederhana semakin akan diterima.

Sejalan dengan berlalunya waktu, kegiatan rutin Rm Janssen dan rekan-rekannya mengunjungi desa-desa terus berlangsung. Mereka terjun ke penduduk desa yang terkena penyakit malaria dan frambusia, jenis penyakit yang saat itu bisa menyebabkan jari- jari rusak dan tidak ada obat yang tersedia di sana. Dari berkeliling itu pula, Rm Janssen dan mitranya menemukan banyak orang yang lebih cacat dan lebih sakit berat: epilepsi, malaria stadium akhir, orang yang cacat karena frambusia dan polio. Akibat tidak adanya penanganan, penderita polio mengalami kontraktur, sehingga kaki dan tangan mereka tidak bisa digerakkan. Ada juga penderita meningitis, TBC, dan cacat ganda. Semuanya tidak diobati dengan benar. Saat inilah pertama kalinya Rm Janssen kemudian berhubungan dengan RSUD Dr Soetomo di Surabaya. RSUD Dr Soetomo membantu dengan memberikan penisilin secara gratis.

Pada waktu itu penisilin belum seperti sekarang. Yang ada saat itu hanya penisilin injection in oil. Obat ini bisa memberikan “mukjizat” bagi penderita frambusia, karena mereka tidak pernah mendapat antibiotik. Jika diobati dengan obat-obat lain penyakit mereka tidak akan membusuk, tetapi juga tidak akan membantu. Dengan injeksi penisilin 2-3 kali, hasilnya langsung dramatis. Untuk melaksanakan semua ini, mereka melatih dan mengajar perawat-perawat. Sementara dokter Jerman menyanggupi untuk ber¬tanggung jawab jika terjadi apa-apa. Atas apa yang dilakukan oleh tiga orang ini banyak orang yang bisa tertolong.

BHAKTI LUHUR

Wisma Pertama, Cikal Bakal Bhakti Luhur

Dalam pencarian anak-anak cacat, yang menderita, sakit, ada anak-anak yang tidak mungkin dibantu di rumahnya sendiri. Lambat laun muncul kebutuhan akan tempat perawatan bagi mereka yang kondisinya paling parah. Keadaan kesehatan orang-orang cacat itu sangatlah parah, sehingga perlahan tetapi pasti jumlah anak-anak yang harus dirawat di wisma bertambah. Mereka tinggal di wisma dalam waktu tertentu untuk mendapat perawatan. Jika sudah agak kuat lagi dan kesehatan mereka sudah lebih baik, mereka kembali pulang ke orangtua. Anak-anak yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi akhirnya tetap tinggal di wisma.

Mulailah Rm Janssen mencari solusi bagi mereka. Dia kemudian menyewa satu wisma yang kecil di Mojoroto, Kediri. Pemilihan tempat ini berdasarkan alasan teknis : ada rumah murah yang bisa disewa dan tempat ini dekat pastoran. Pada waktu itu Dokter Thiele sulit berjalan. Dia meminta tempat yang mobilnya bisa masuk sehingga sang dokter tidak perlu berjalan terlalu jauh. Tempat di Mojoroto ini memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan. Jadilah tempat ini menjadi wisma pertama, cikal bakal wisma-wisma berikutnya yang kelak menjadi bagian sejarah Bhakti Luhur.

Wisma ini dimulai tahun 1957. Yang tinggal dan merawat anak-anak di wisma ini adalah Ibu Mujiyah. Dia seorang guru muda dari Stella Duce, sebuah sekolah di Jogyakarta, yang juga mengajar di sekolah SMP Kediri yang didirikan Rm Janssen. Ibu Mujiyah menjadi ibu pemimpin, dan pelaya yang pertama dari wisma anak cacat. Wisma yang pertama berkembang menjadi lebih banyak tempat anak-anak cacat Rm Janssen di Gringging. Tempat ini menjadi pusat untuk praktik kerja para mahasiswanya dari kurus B1 Ilmu Mendidik yang didirikan oleh Rm Janssen. Ibu Mujiyah termasuk di dalamnya. Rm Janssen berpendapat bahwa para mahasiswa yang mau menjadi pendidik harus mengenal hidup dan realita yang ada, juga mengenal penderitaan rakyat.

Dari wisma ini, mereka mampu mengembangkan “desa anak” dengan beberapa wisma untuk anak-anak berdampingan dengan sekolah yang didirikan Rm Janssen. Memang, selain giat merawat anak-anak sakit dan cacat, Rm Janssen tidak pernah membiarkan dirinya tidak mendirikan sekolah-sekolah yang saat itu masih sangat jarang. Baginya, untuk memajukan bangsanya, pendidikan harus sangat diutamakan. Rm Janssen mendapat tanah 1/2 hektar di Gringging dekat pasar di pinggir jalan. Dulunya tanah ini bekas pabrik yang tidak lagi dipakai. Di sanalah dibangun sekolah yang bisa dipakai juga sebagai gereja. Rm Janssen dibantu seorang katekis awam membangun gedung ini. Romo membangun mulai dari mencari tukang pada awalnya, sampai tahap akhir pembangunan. Rm Janssenlah yang membuat gambar desain bangunannya, sementara dana dibantu oleh Keuskupan dan keluarga di Belanda.

Karena ada banyak anak miskin dari desa lain yang ingin bersekolah, maka untuk mereka dibangun wisma-wisma supaya bisa bersekolah tanpa hares pulang ke rumah yang jaraknya jauh. Mereka tidak perlu membayar biaya sekolah; hanya membayar untuk makanan saja atau membawa makanan sendiri. Hidup mereka yang sederhana hanya mengandalkan rahmat Yang Maha Belas Kasih berupa sumbangan ala kadarnya (paling banyak makanan jagung) dari orangtua siswa dan masyarakat.

Wisma-wisma kemudian didirikan tersebar di sekitar sekolah. Jumlah anak cacat clan anak miskin yang ditampung makin banyak. Mereka berjumlah sepuluh anak, tinggal dalam satu rumah. Anak cacat berbaur dengan anak-anak miskin yang mau bersekolah. “Desa anak” ini menjadi surga tersendiri bagi anak-anak itu. Tanpa mereka sadari, merekalah penghuni pertama embrio Bhakti Luhur, mendahului teman-teman mereka di wisma-wisma lain di nusantara. Lahirlah perwujudan pertama dari Pendidikan Inklusif. Anak cacat tidak disendirikan akan tetapi bersekolah bersama anak lain dengan pembinaan khusus bersistem Montessori dan untuk SMP sistem Dalton. Pembina tinggal serumah sekamar dengan mereka dalam satu komunitas, sehati sejiwa. Dan lahirlah bhakti pelayanan kasih dalam kebersamaan dengan cacat miskin dan menderita yang kemudian dikembangkan menjadi Bhakti Luhur.

Perpindahan Karya Rm Janssen ke Madiun

Tahun 1958 Rm Janssen dipindahkan ke Madiun dengan tugas yang baru yaitu mulai mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Di sini karya Rm Janssen berkembang lebih lanjut.

Model yang digunakan dalam upaya pembinaan ini dengan cara menempatkan mahasiswa di sana selama beberapa waktu untuk mengenal masalah-masalah yang dihadapi orang – orang yang menderita dan cacat. Bersamaan dengan anak miskin, kegiatan ini menarik seorang pendidik di Jogya, yakni Rm Loeff S.J. yang menjadi teman karib Rm Janssen, Rm Janssen mengajar bimbingan dan penyuluhan di IKIP Sanata Dharma. Bersama dengan Rm Loeff ia berusaha supaya mahasiswa dari jurusan Ilmu Mendidik mengalami setahun “live in” di wisma-wisma Rm Janssen di Gringging. Tujuannya agar dapat menerapkan teori Guidance and Conseling yang didapatkan di bangku kuliah, bukan hanya dari buku dan teori, tetapi juga dari kenyataan. Guidance and Conseling tidak hanya diterapkan untuk Orang ‘normal’, tetapi terlebih lagi pada orang-orang yang tidak ‘normal’, orang yang cacat dan menderita. Mereka inilah orang-orang yang mempunyai masalah yang lebih kompleks.

Penempatan mahasiswa-mahasiswa ini berdampak positif bagi karya Rm Janssen . Rm Janssen mendapat banyak teman yang sama-sama tergerak hatinya untuk mencintai dan membantu anak-anak cacat. Ibu Mujiyah, yang seorang guru dan mahasiswa, bersama dengan mahasiswa-mahasiswa lain hidup, men.jaga, dan merawat anak-anak cacat itu sambil menerapkan ilmu mereka. Dari penempatan mahasiswa ini, Rm Janssen mendapat banyak teman yang pernah bersamanya di Gringging dan berikutnya Madiun selama I tahun. Yusuf Gunawan (kini mantan rektor dari Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya) tercatat sebagai salah satu murid Rm Janssen.

Dari pengalaman bersama ini, timbullah suatu kesadaran rnendasar yang akan berbuah pesat yang tanpa mereka sadari menjadi karya yang dahsyat. Kaum awam, yang bukan Buster atau imam, dapat hidup bersama orang miskin dan mau tinggal bersama mereka dalam satu bentuk keluarga, komunitas baru.

Orang-orang awam yang mempunyai pekerjaan, bekerja sendiri, tidak dibiayai oleh Gereja, mau tinggal bersama, merawat, dan menghidupi anak-anak cacat. Kalaupun tidak tinggal bersama, mereka mau mengunjungi dan merasakan kebersamaan dengan anak-anak cacat dan orang sakit lain di desa.

Itulah Bhakti. Bhakti ‘Yang bukan sembarang bhakti, tetapi bhakti yang luhur. Bukan bhakti yang dipaksakan, bukan bhakti yang komersial. Bukan bhakti yang dilakukan asal dibayar, melainkan bhakti pelayanan tanpa imbalan. Pelayanan berdasarkan kasih murni, yang betul-betul dalam arti sesungguhnya. Permulaan Rm Janssen berkarya berdasar atas pelajaran dan pendalaman dari arti hidup bhakti dalam kebudayaan hindu dan kebudayaan Indonesia. Rm Janssen menemukan arti bhakti sebagai “love for love” – “kasih demi kasih tanpa imbalan”, penyerahan diri tanpa imbalan. Karena itu diberi nama Yayasan “Bhakti Luhur” (Lihat buku Rm Janssen mengenai “Bhakti”).

Tahun 1959 Rm Janssen merasa membutuhkan ‘rumah’, semacam yayasan untuk menjadi tempat bernaung secara formal untuk Bhakti pada anak cacat miskin dan terlantar. Terlebih pemerintah memang mewajibkan agar komunitas itu menjadi sebuah yayasan. Bersamaan dengan itu, uluran tangan Tuhan sendiri berkerja melalui seorang umat. Ada yang mau memberi rumah untuk komunitas Rm Janssen. Kemudian didirikanlah sebuah yayasan kecil, yang diberi nama Bhakti Luhur, sesuai dengan spirit dan pandangan baru yang mewujudkan kasih dalam kebersamaan dengan anak-anak cacat miskin dan terlantar. Cinta kasih membangun dunia baru.

Masuk ke Dunia Pendidikan

Dunia kemiskinan nyatanya tidak membuat peranan Rm Janssen di bidang lain terhenti. Justru di sinilah keistimewaan Rm Janssen. Pengalaman belajar di bidang psikologi sosial dan social science, gelar Master of Art, dan doktor teologi tidak disia-siakan oleh Rm Janssen. Hidupnya makin berwarna dengan turunnya dia ke kancah pendidikan. Kepeduliannya terhadap dunia pendidikan sudah menyatu dalam napas hidupnya. Bagi Rm Janssen untuk memajukan suatu bangsa, pendidikanlah yang harus mendapatkan prioritas. Tidak heran bila di mana pun Rm Janssen berada, pasti ada sekolah.

Pada tahun 1955-1957 Rm Janssen mulai mengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Saat itu Sanata Dharma membutuhkan tenaga di bidang Guidance & Conseling, jurusan yang baru dibuka. Bersama rekannya Rm Loeff S.J, keduanya bahu-membahu dalam memajukan dunia pendidikan. Rm Janssen kemudian membuka sekolah B1 yang pada zamannya menjadi prasyarat untuk mengajar Sekolah Guru Atas. Rm Janssen membuka sekolah di Kediri, sementara Rm Loeff di Yogyakarta. Kegiatan Rm Janssen dan Rm Loeff rupanya tidak hanya bersifat lokal. Keduanya juga membantu pengujian sekolah B1 Jakarta bersama Fuad Hassan yang kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada tahun 1958 timbul ide untuk mendirikan Universitas Katolik dan IKIP Katolik bekerja sama dengan Sanata Dharma, Universitas Parahyangan (Bandung), Universitas Atma Jaya dan Keuskupan Surabaya. Rm Janssen menginginkan Universitas itu dibuka di Surabaya. Akan tetapi Uskup Surabaya waktu itu menginginkan dia pindah ke Madiun. Lokasi Universitas yang semula direncanakan di Surabaya akhirnya berpindah ke Madiun.

Hanya saja Rm Janssen sernpat kebingungan memikirkan nasib anak-anaknya di Kediri yang sudah semakin banyak jumlahnya, Rm Janssen bertanya, “Bagaimana dengan anak-anak saya?”. Uskup mengatakan, “Mengurus anak-anakmu itu adalah hobimu sendiri. Kamu adalah petugas keuskupan. Kamu dipindahkan untuk bekerja bagi keuskupan. Tentang anak-anakmu, saya tidak melarangmu, terserah padamu. Kalau kamu mau membawa mereka, silakan”. Rm Janssen konsisten dengan pilihan hidupnya pada orang miskin dan anak cacat. Dia kemudian hijrah bersama pasukannya.

Saat membuka Universitas di Madiun, Rm Janssen memilih nama Widya Mandala. Nama Widya Mandala ini dipilih Rm Janssen ketika dia mengajar di Yogyakarta. Dia membaca kata Widya Mandala terpampang di suatu gedung kuno di kota itu. Lalu dia menanyakan pada Rm Loeff apa arti kata itu. Dari penjelasan sang teman, Rm Loeff, Widya Mandala memiliki arti: tempat untuk mendidik, tempatnya orang bijaksana. Rupanya Rm Janssen terkesan dengan makna kata itu. Fakultas pertama yang dibuka adalah Pendidikan dan Sastra.

Hijrah ke Malang

Setelah beberapa tahun berkarya di Madiun karena ada perbedaan pandangan antara Rm Janssen dengan Uskup Surabaya ketika itu. Tahun 1965-1966, selama setahun, Rm Janssen menunggu keputusan dari Uskup. Ketika dipastikan bahwa Uskup Surabaya tidak setuju, Rm Janssen menemui Kardinal untuk minta pertimbangan. Kardinal mengarahkan Rm Janssen untuk bertemu dengan Uskup Semarang, Mgr Darmojuwono Pr. Mgr Darmojuwono mau menerima. Mgr Darmojuwono lalu berjanji untuk membicarakannya dengan Mgr A.E.J Albers O. Carm, Uskup Malang. Mgr Albers adalah orang yang terbuka sekali untuk keterlibatan kaum awam.

Gayung rupanya bersambut. Mgr Albers menerima dengan senang hati kehadiran Rm Janssen. Rupanya Mgr Albers mempunyai perhatian besar untuk hal seperti ini. Hanya saja Mgr Albers mengajukan satu syarat, yaitu beberapa komunitas dan anak-anak harus dipindahkan ke wilayah Keuskupan Malang, karena tidak mungkin dia mengakui suatu institusi di bawah keuskupan lain. Rm Janssen dengan senang hati menyetujui. Tanggal 26 Agustus 1967 menjadi tanggal bersejarah bagi Bhakti Luhur.

Sedangkan Ignatia Mudjiah baru tiba di Malang pada awal tahun 1971. Anak-anak Bhakti Luhur beserta segala inventaris yang mereka miliki diboyong ke tempat yang baru. Truk-truk penuh dengan buku-buku, sementara Rm Janssen sendiri naik jeep perang butut dengan gagahnya.

Di Malang, Rm Janssen dengan  anak-anak diterima dengan baik sekali. Mgr Albers sendiri memimpin retret dan misa untuk mereka. Ekaristi dilakukan di rumah sewa milik keluarga D. Lumakeki di Jalan Tapaksiring I/1609, Samaan. Bahkan Mgr Albers memberi rumah di Jalan Dempo. Akhirnya, Mgr Albers membelikan rumah yang rusak dengan harga Rp 83.000 di Jalan Seruni 4B untuk keperluan Rm Janssen dan disediakan rumah di Samaan di belakang Susteran Ursulin, di dalam kampung juga. Rumah-rumah di daerah Seruni ditempati oleh banyak warga yang miskin. Ketika warga kesulitan keuangan dan menjual rumah mereka, Bhakti Luhur membelinya. Akhirnya sedikit demi sedikit rumah-rumah di sana menjadi milik Bhakti Luhur yang luas seperti sekarang ini. Rumah-rumah yang semula kecil, kotor, dan kumuh dipoles menjadi wisma yang bersih.

Di tempat barunya, selain terus bergumul dengan anak cacat, Rm Janssen tetap tidak bisa meninggalkan pendidikan rasul awam. Baginya untuk memajukan pastoral dan katekese, pendidikan rohani dan pembentukan diri harus menjadi prioritas utama. Mgr Albers rupanya memiliki cita-cita yang sama. Keduanya kemudian mendirikan institut yang sekarang bernama Institut Pastoral Indonesia (IPI). Mereka ingin mempunyai katekis di paroki yang tidak dibayar. Bagi mereka, tanpa pendidikan kita tidak bisa mendidik perawat untuk merawat orang cacat, tidak bisa mendidik orang¬orang yang mendidik umat. Diharapkan katekis paroki tidak hanya menjadi guru agama tetapi menjadi gembala umat yang tidak dibayar. Kebutuhan hidup dipenuhi dari kerjanya sebagai orang biasa, sesuai profesinya.

Rm Janssen menggarisbawahi betapa pentingnya pendidikan dan pembentukan. Menurut dia seorang dokter Rehabilitasi Medik tidak begitu saja merehabilitasi orang cacat tanpa tahu apa-apa mengenai bagaimana menangani orang buta, tanpa tahu mengenai anatomi tubuh. Harus ada pendidikan. Kalau kita mau ada misionaris awam, kita harus mendidik. Kalau seseorang bekerja dalam rehabilitasi, dia harus profesional di bidang rehabilitasi. Bidang pastoral pun sama. Kalau tidak ada pendidikan, tidak bisa. Kedudukan orang-orang awam dalam kegiatan Gerejawi adalah sebagai “Basic Christian Community”, komunitas basis kristiani. Komunitas basis adalah orang-orang yang berada di basis, di mana basis tiap orang berbeda-beda.

Bersama dengan pendirian IPI, Rm Janssen mendirikan lembaga bernama Institut Pembangunan Masyarakat. Se-sungguhnya kata “Masyarakat” tidak sesuai dengan bahasa Inggrisnya, Institute of Community Development. Namun saat itu di Indonesia memang kata-kata komunitas belum terlalu sering digunakan. Dalam Bahasa Inggris dan Perancis ada kata “community”. “Community” bukan berarti masyarakat. “Masyarakat adalah ‘society’. Sementara kita ini adalah basic community, komunitas basis,” kata Rm Janssen. Basic community yang kategorial terdiri dari orang-orang dengan dasar yang sama, punya panggilan yang sama, dan bergerak bersama. Bukan mengatasnamakan organisasi, tetapi suatu basic community. Kadangkala memiliki nama, kadang tidak, tetapi dengan satu prinsip bekerja bersama. Inilah yang menghidupkan masyarakat.

Untuk para katekis Rm Janssen berharap mereka tidak hanya menjadi guru agama, tetapi juga gembala umat yang tidak dibayar. Mereka mampu membiayai hidup karena bekerja sebagai awam; ada yang guru, ada yang buruh kerja di perusahaan, ada yang di perkantoran atau pegawai pemerintah. Tetapi itu semua bukan tugas utama. Seorang misionaris awam berarti dia mempunyai pekerjaan; dia tidak hidup dari Gereja. Ini juga ada hubungannya dengan Gereja Indonesia yang memilih bentuk “communio”. Communio berarti umat sendiri yang bertanggung jawab atas iman.

Menurut Rm Janssen gereja communio tidak bisa hidup kalau tidak ada misionaris awam. Kalau memilih pola gereja bentuk institut, berarti gereja harus membayar pewarta iman. Orang yang menjadi katekis harus dibayar. Para uskup kebanyakan tidak lagi mau mengangkat katekis karena mereka tidak punya uang. Jadi, yang masih mengangkat guru agama adalah pemerintah. Rm Janssen berpendapat ini mengkhawatirkan ketika semua guru agama menjadi abdi pemerintah, dibayar oleh pemerintah sementara Gereja tidak bisa berbuat apa-apa.

Menurut Rm Janssen IPI lebih dari Sekolah Tinggi Guru Agama. IPI adalah suatu institut gerejawi untuk mendidik tenaga mini umat melayani komunitas gerejawi dengan pastoral care tanpa minta imbalan. Kesulitan untuk mewujudkannya membuatnya merasa gagal. Hanya saja yang menarik adalah bahwa dalam pergumulan¬nya dengan IPI, Rm Janssen telah membawa angin segar bagi lembaga ini.

Alkisah selama 7 tahun IPI betul-betul “murni”. Kemudian keadaan berubah. Untuk dapat mengajar anak-anak Sekolah, mereka perlu ‘secarik kertas pengakuan’ dari Depag (Dep. Agama). Bila tidak, maka tidak punya ijazah mengajar. Rm Janssen kemudian mencari upaya dengan mendatangi seseorang di Departemen Agama. Departemen Agama bersedia membantu dan mengakui IPI di bawah Depag. Di sinilah persoalannya. Upaya yang dilakukan Rm Janssen adalah sesuatu yang baru. Tidak ada satu pun dari seminari yang berada di bawah Depag. Sekolah katekis lain berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Sernentara itu, hanya IPI yang berada di bawah Depag. Di luar dugaan “kertas” dari Depag itu mulai berharga karena pemerintah memutuskan bahwa jika guru agama tidak mempunyai surat dari Depag, dianggap tidak sah.

Sejak itu mulai banyak siswa yang masuk IPI karena mau menjadi guru agama pemerintah. Hanya sayang mereka kadang¬kadang tidak bisa menangkap cita-cita pendirinya untuk menghasilkan misionaris awam dalam community. Dalam community berarti orang bekerja dalam persaudaraan kasih tanpa minta imbalan. Menurut Rm Janssen, kalau guru agama dibayar oleh pemerintah, timbullah bahaya bahwa dia tidak lagi pewarta firman tetapi pegawai. Mereka harus digembleng dalam pendidikannya dengan pastoral dasar: renungan, bacaan dan sharing Kitab Suci, hidup ekaristis, pembentukan diri, dan penyerahan diri untuk komunitas gerejawi lokal. IPI terus berkembang dan Rm Janssen meneruskan di dalamnya dengan suatu jurusan Pastoral Sosial. Mulai 2005, biarpun sudah berumur di atas 80 tahun beliau menjadi ketua Program Pascasarjana untuk mendidik tenaga Magister (S2) dalam teologi praktis dan pastoral care.

Uskup Surabaya pada tahun 1960 menyebut merawat anak-anak cacat sebagai ‘hobi’ Rm Janssen. Tetapi “hobi” itu menjadi dorongan baginya untuk menemukan pelaksanaan tugas pastoral care yang ideal di dalam masyarakat dengan mempunyai tugas utama lain. Mengumpulkan benih yang tercecer dan menyemainya kembali ternyata menjadi tugas utama Rm Janssen si teolog.

Sebagai pengabdi anak cacat, Rm Janssen tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan menjadi dosen di Sanata Dharma, fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Jogja dan IKIP Malang selama sepuluh tahun.

Jabatan rektor IPI berada di pundaknya selama 30 tahun menjadikan Romo yang telah menjadi WNI ini menuntaskan tugas mengantarkan ribuan katekis ke seluruh Indonesia. Tetapi panggilan dan wajah Tuhan dalam kekosongan dan ketidakberdayaan anak-anak cacat tidak dapat ditinggalkannya. Hati seorang misionaris tidak membiarkannya.

Seorang Inovator

Rm Janssen adalah pribadi yang inovatif. Dalam mengembangkan karyanya, dia tidak hanya memikirkan bagaimana anak-anak cacat diperhatikan, mendapat tempat, dan memperoleh kasih sayang. Lebih dari itu, Rm Janssen seorang pemikir yang tabu bagaimana kelangsungan karya besarnya agar tidak lekang oleh waktu.

Pada tahun 80-an, saat komputerisasi mulai merambah Indonesia, Rm Janssen adalah seorang pioner pengguna teknologi ini. Bahkan Prof Glinka, seorang antropolog dari Universitas Airlangga, kawan Rm Janssen sempat berkonsultasi tentang ‘komputerisasi’ ini. Sekarang program terapi anak-anak dengan kebutuhan khusus sudah dilaksanakan ‘online’ di seluruh Bhakti Luhur Indonesia.

Kemampuannya dalam menghadapi pekerjaan sangat ‘kaya’ dan inovatif dan tidak pernah sama. Pada saat dia merasa bahwa Institutional Based Rehabilitation tidak lagi terlalu relevan, maka dia langsung mengintensifkan Community Based Rehabilitation.

Sementara beberapa rekan setarekat, seperti almarhum Rm Sastro CM menyebutnya sebagai seorang jenius, manusia multidimensi yang menjadi milik masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun, ungkapan sahabat-sahabatnya mengenai dirinya ditampik Rm Janssen dengan rendah hati.

Mereka yang bekerja merawat dan membina anak-anak di Bhakti Luhur memang orang yang menyerahkan seluruh hidupnya menjadi pelayan persaudaraan kasih, namun di luar itu mereka juga membutuhkan keahlian dan dana.

Rm Janssen menyadari bahwa dalam kekaryaannya dibutuhkan keterlibatan masyarakat awam yang memiliki keahlian seperti dokter, fisioterapis, psikolog, serta dana. Sebuah sistem yang komprehensif dicoba ditawarkan oleh Rm Janssen dalam karyanya. Dengan konsep bhakti tanpa imbalan, charity yang benar, Rm Janssen mulai merambah orang-orang mapan dan memiliki keahlian yang peduli pada kelangsungan Bhakti Luhur.

Rm Janssen Pendiri Persaudaraan Kasih

Pada tahun 2004 Romo Janssen membentuk komunitas baru bernama Perkasih (Persaudaraan Kasih). Pembentukan komunitas ini diilhami oleh karya Vincentius A Paulo pada tahun 1615. Menurut Rm Janssen pembentukan komunitas ini memiliki tujuan agar umat, khususnya umat Katolik betul-betul menjiwai persaudaraan kasih dalam bhakti.

Cinta bhakti, bhakti luhur,bisa ditanam di dalam umat. Rm Janssen berharap PERKASIH tetap menjadi kelompok basis kasih, suatu community penuh kasih, bukan kasihan. Kasih, seperti agape yang asli, dalam arti bhakti.

Dalam community orang bekerja dalam persaudaraan kasih. Menurut Rm Janssen jika keluarga kita yang menderita, kita tidak akan minta dibayar karena persaudaraan kasih. Tetapi kalau kita ke dokter pemerintah misalnya, kita minta dibayar; sama seperti kita ke dokter partikelir, kita harus membayar. Jika orang mau membetulkan hidungnya, memperbaiki payudaranya, orang tua yang ingin kulitnya halus, ingin membayar, biarlah mereka membayar. Tetapi kalau ada anak yang cacat, yang tidak bisa makan, dan tidak bisa bicara, janganlah dia membayar. Untuk hal ini, diperlukan community involvement.

Pastoral care yang dilaksanakan kelompok-kelompok basis gerejawi bukan hanya dalam memelihara hidup rohani, tetapi memelihara umat Tuhan sebagai keseluruhan. “Pastoral care tidak hanya berarti mengajak berdoa, tapi perhatian terhadap orang, jiwa raganya seluruhnya sebagai satu kesatuan. Itu namanya hidup. Kita membutuhkan itu di rumah sakit, di rumah orang lanjut usia,” kata Rm Janssen. Pastoral Care itu tidak ada hubungannya dengan pastoran, atau dengan pastor. Tapi ada hubungan dengan pastoral! Pastoral dalam arti mengembangkan community yang berdasar atas kasih, perhatian terhadap orang keseluruhan.

PERKASIH, Persaudaraan Kasih Indonesia adalah perkumpulan, persaudaraan kasih menurut pola Confraternities of Charity yang dulu dijalankan Vincentius a Paulo, pelindung CM, inspirator Rm Janssen dalam meraih orang miskin, sakit, cacat clan terlantar. Dengan pola ini, para relawan awam menjadi pelayan orang miskin dengan mengunjungi, merawat dan melayani orang miskin, sakit, cacat dan terlantar di tempat mereka sendiri. Para relawan awam membuat mereka menjadi mandiri. Salah satu cara kerjanya dengan menjadi sponsor dari komunitas yang membutuhkannya.

Medical care yang dijalankan oleh perawat-perawat dalam Bhakti Luhur bagi anak-anak cacat tidak bisa hidup tanpa didukung PERKASIH. PERKASIH menjadi sponsor untuk menjaga detak-detak nadi kehidupan anak-anak cacat Bhakti Luhur tetap berlangsung. Dalam Bhakti Luhur, ada keterpaduan dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. Di sini ada kombinasi antara anak – anak cacat yang butuh bantuan, orang yang mau menyerahkan diri untuk mereka, dan dukungan PERKASIH. Selama training putra-putri Bhakti Luhur tetap dijalankan, (dan bila PERKASIH selalu eksis), pembentukan kader yang berdasarkan atas bhakti dan kasih bisa diteruskan sehingga Bhakti Luhur akan selalu berkembang walaupun ditinggalkan pendirinya. Itulah harapan Rm Janssen tentang Bhakti Luhur di masa mendatang.